Ikan 'BENCONG': Apa dan Mengapa

Saya masih berpikir apakah kata bencong/waria itu sesuai dengan kondisi yang akan saya ceritakan. Berdasarkan kamus wikipedia waria/bencong adalah kondisi dimana pria yang berperilaku sebagai wanita dalam kehidupan sehari-harinya. Nanti setelah teman-teman selesai membaca mengenai tulisan ini, istilah ikan 'bencong' apakah sudah sesuai atau belum. Menemukan ikan bencong ini adalah secara tidak sengaja, karena kegiatan inventarisasi ikan Kali Surabaya tahun 2009. Saat mengolah data hasil tangkapan ikan dari nelayan, jumlah betina lebih besar daripada jantan, yaitu sebesar 84%. Fenomena ini menarik, karena umumnya perbandingan jantan dan betina berbanding 1:1. Setelah menggoyang mesin pencari google dengan kata kunci yang berbeda-beda, saya menemukan 2 buah kata kunci benar-benar bekerja dengan baik. Kedua kata kunci itu adalah intersex (interseks) dan gender bending (perubahan jenis kelamin). Selain menemukan kata kunci yang tepat, saya juga menemukan kejadian yang hampir sama mengenai rasio seks jantan dan betina. Rasio seks betina pada white sucker yang hidup di bawah pembuangan effluent IPAL  mengalami bias (17 – 21%), dimana persentase jantan di bagian hulu sebesar 36 – 46% (Vajda et al., 2008 dalam Harris et al., 2010).

Interseks pada sturgeon, terbentuknya telur pada testis
Fenomena ikan bencong atau interseks mulai terdeteksi melalui penelitian Susan Jobling tahun 1998, dimana pada 13 sungai yang diamati menunjukkan munculnya kejadian pejantan dengan interseks dalam berbagai tingkatan dan presentase berkisar antara 18-100%. Mulai dari 'hanya' terbentuknya saluran ovarium hingga seluruh testis berubah menjadi ovarium. Kondisi inilah yang kemudian kita sebut 'ikan bencong'. Penelitian ini kemudian berkembang dan memberikan informasi yang lebih menakjubkan lagi bahwa roach (Rutilus rutilus) yang hidup di sungai–sungai Inggris yang mendapatkan masukan berupa effluent dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ditemukan pada 86% dari 51 sungai (Jobling et al., 2006). Tidak selamanya ikan yang tercemar oleh pencemar yang menyerupai hormon mengalami interseks. Reaksi paparan terhadap pencemar tersebut mulai dari yang paling ringan adalah terbentuknya vitellogenin (protein pembentuk kuning telur pada betina) hingga berfisik betina namun secara genetis jantan. Ketidakseimbangan rasio seks dan perubahan seks secara keseluruhan adalah salah satu akibat dari paparan pencemar menyerupai hormon.

Peristiwa ini (genetis jantan fisik betina) dicatat oleh Nagler (1999), dimana ia menemukan bahwa 84% dari betina yang diuji DNA-nya untuk bahan kimia yang normalnya dihubungkan dengan kromosom Y  menunjukkan hasil positif. Nagler dan teman-temannya berargumen bahwa bahan pencemar mengubah embrio/ benih ikan jantan menjadi seperti dan berfungsi sebagai betina. Mekanismenya adalah,telur yang belum dibuahi (normalnya) membawa salah satu kromosom X dari ibu dan sperma dapat membawa salah satu kromosom X atau Y dari pihak ayah. Perubahan ini tidak hanya berhenti pada munculnya ikan 'bencong'. Fenomena ini terus berguling, ketika terdapat pencemar yang menyerupai hormon menghasilkan ikan jantan secara genetis yang menghasilkan telur yang dapat dibuahi, maka beberapa dari telur ini akan membawa sebuah kromosom Y dibandingkan X. Hal ini menurunkan kemungkinan keturunan dengan setidaknya satu kromosom Y dan menjadi jantan. Lebih jauh lagi, beberapa keturunan mungkin mendapatkan kromosom Y baik dari ayah atau ibunya, dan menjadi 'pejantan super'. Ketika 'pejantan super' bereproduksi, Nagler mengatakan, semua keturunannya adalah jantan dan merusak rasio seks dalam sebuah populasi. Pada akhirnya, betina akan menghilang secara keseluruhan.

Kondisi interseks dimana terbentuk sel telur dalam testis. (kiri-kanan: ovarium normal, interseks, testis normal)
Pencemar yang menyerupai hormon ini disebut juga senyawa pengganggu endokrin (endocrine disrupting chemical/compound alias EDC).  EDC bisa bersifat estrogenik maupun androgenik, bergantung senyawanya. Melihat tingginya rasio seks betina, kami menduga bahwa EDC yang terdapat di Kali Surabaya bersifat estrogenik. Senyawa ini baik yang alami maupun sintetik dapat ditemukan dalam air limbah yang mengalir di selokan, sungai, danau, dan perairan lainnya. Beberapa sumber senyawa estrogenik yang dapat dijumpai di perairan adalah pestisida, pil KB, limbah industri, dan lain sebagainya. Kadar senyawa estrogenik yang terdapat dalam air memiliki kisaran yang cukup luas antar negara yang satu dengan lainnya. Kadar estradiol berkisar antara < 0,05 – 15,5 ng /L, estron berkisar antara < 0,1 – 17 ng/L dan ethinilestradiol sebesar  < 0,053 – 30,8 ng /L dan hanya sedikit kadar estriol yang dapat terukur yaitu berkisar antara < 0,1 – 3,4 ng/L (Christiansen et al., 2002). Syamsuri (2006) mengukur kadar estradiol - 17β yang terdapat di Kali Brantas, dan dalam penelitian ini diketahui bahwa nilai estradiol - 17β  pada  bagian hulu (Batu) bernilai 85,833 ± 35,92 ng/L, tengah (Tulungagung) 112,5 ± 55,077 ng/L, dan hilir (Surabaya) 117,5 ± 36,393 ng/L. Senyawa estrogenik juga terukur pada sedimen Kali Surabaya (anak Kali Brantas) adalah EE2 (etinilestradiol) 1,55 ± 1,67 mg/L, BPA (bisfenol A) adalah 0,32 ± 0,13 mg/L, PE (ptalat ester) 1,46 ± 0,97 mg/L. Senyawa estrogenik yang terdapat di Kali Surabaya menyebabkan gangguan reproduksi baik terhadap jantan maupun betina. Di puncak musim kawin, jantan belum siap kawin sedangkan betina sebaliknya.

Jumlah dan kecepatan absorpsi senyawa estrogenik pada sedimen bergantung pada kandungan bahan organik. Semakin kecil partikel dan tinggi kadar bahan organik sedimen akan meningkatkan absorpsi senyawa estrogenik. Lamanya senyawa estrogenik terikat pada sedimen ditentukan oleh banyaknya oksigen yang terlarut dalam air. Selain mempengaruhi populasi ikan, ternyata senyawa estrogenik juga mempengaruhi kesehatan konsumen ikan yang memakannya. Masyarakat yang mengkonsumsi ikan pada daerah terpapar xenoestrogen tinggi memiliki resiko tinggi terjadi kanker, hambatan neurologis, dan permasalahan reproduksi (Colborn dan Soto, 1993). Pernyataan Colborn dan Soto (1993) sejalan dengan data yang kami dapatkan dari RSUD Dr. Soetomo, bahwa 85% wanita dan 65% anak penderita kanker adalah mereka yang tinggal di bantaran kali. Bagaimana dengan sungaimu?

Pustaka

Colborn, V and Soto, S. 1993. Developmental Effects of Endocrine – Disrupting Chemicals in Wildlife and Human. Environmental Health Perspectives, 101, 5, 378 – 384

Christiansen, L.B, Margrethe N. B, dan Christian H. 2002. Feminisation of Fish: The Effect of Estrogenic Compound and Their Fate in Treatment Plants and Nature. Enviromental Project No 729. Danish Enviromental Protection Agency

Harris, C. A, P. B. Hamilton, T. J. Runnalls, V. Vinciotti, A. Henshaw, D. Hodgson, T. S. Coe, S. Jobling, C. R. Tyler, dan J. P. Sumpter. 2010. The Consequences of Feminisation in Breeding Groups of Wild Fish.  Environmental Health Perspective. NIEHS

Jobling, S, M. Nolan, C. R. Tyler, G. Brighty, dan J. P. Sumpter. 1998. Widespread Sexual Disruption in Wild Fish. Enviromental Science Technology, 32, 2498 – 2506

-------------, S, R. Wiliams, A. Johnson, A. Taylor, M. Gross-Sorokin and M. Nolan. 2006. Predicted Exposures To Steroid Estrogens  In UK Rivers Correlate With Widespread Sexual Disruption In Wild Fish. Environmental Health Perspective, 114, 32 – 39.

Syamsuri, Istamar. 2006.  Konsentrasi Estradiol - 17β Di Dalam Air Sungai Brantas dan Pengaruhnya Terhadap Feminisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Secara Eksperimental. Disertasi. Universitas Airlangga

Komentar

Postingan Populer