BILA PENANGANAN SAMPAH B3 MEDIS SEMBRONO

Kali itu, saat berjalan di lorong sebuah rumah sakit, saya melihat cerobong asap yang tinggi menjulang ke langit. Hmm menarik dan setelah membaca peta rumah sakit. Seratus persen yakin itu kalau cerobong asap itu adalah incinerator milik rumah sakit. Sekarang pindah TKP menuju kamar pasien dan mengintip kamar mandi. Saya menemukan 2 tempat sampah yang bertuliskan sampah infeksius dan non infeksius. Wuih keren istilahnya, begitu dibuka tempat sampahnya ternyata kantong plastiknya berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk sampah infeksius warnanya kuning dan sampah non infeksius warnanya hitam. Karena ini menarik, saya mencari tahu lebih jauh lagi. 

Copas dari blog tetangga, ternyata pengelolaan sampah medis diatur dalam KepMenKes RI no. 1204/Menkes/SK/Per/X/2004 yang ternyata sampah medis dibedakan menjadi berbagai macam dan kantong penandanya pun dibedakan sbb: kuning dengan lambang biohazard untuk sampah infeksius, sangat infeksius, patologi, dan anatomi; ungu untuk sitotoksik; merah untuk radioaktif; kimia dan farmasi warna coklat; dan hitam untuk domestik. Penjelasan untuk macam - macam sampah medis adalah sebagai berikut ini.

Umumnya sampah medis dapat dibagi menjadi 8 kategori, yang terdiri atas :

  1. Sampah infeksius. Sampah yang diduga mengandung pathogen (sumber penyakit). Contohnya: kultur bakteri/ hewan uji yang terinfeksi di laboratorium, semua sampah yang berasal dari ruang isolasi, tisu/ kain yang digunakan untuk melap pasien,  sampah yang berasal dari proses pembedahan/autopsy bagi pasien yang terkena penyakit menular, peralatan/sampah yang kontak engan pasien yangmenjalani hemodialisa. 
  2. Sampah patologis. Jarigan atau cairan tubuh manusia, seperti: bagian tubuh, darah dan cairan tubuh lainya, janin. 
  3. Sampah tajam, seperti: jarum, perlengkapan infuse, pisau bedah, pisau, gelas pecah. Tidak peduli apakah benda-benda ini digunakan pada pasien dengan penyakit menular atau tidak, dikategorikan sebagai  sampah yang sangat berbahaya (Bahan Beracun Berbahaya/B3)
  4. Sampah farmasi, seperti: obat-obatan kadaluarsa atau tidak lagi dbutuhkan, peralatan/benda yang terkontaminasi atau wadah obat (botol, kotak), sarung tangan, vial obat, masker
  5. Sampah genotoksik adalah sampah yang mengandung senyawa genotoksik (racun terhadap genetika) mutagenik (menyebabkan mutasi, dan teratogenik (menyebabkan cacat di awal perkembangan), dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Contoh: sampah yang mengandung obat sitostatik(sering digunakan pada terapi kanker), bahan kimia genotoksik, dan muntahan/air kencing/feces pasien yang dirawat dengan obat/bahan kimia sitostastik dan radioaktif.  Khusus untuk mutahan/air kencing/ feces pasien yang menerima perawatan kanker  harus dimasukkan dalam sampah genotoksik minimal 48 jam – 1 minggu setelah perawatan.
  6. Sampah kimia adalah sampah yang mengandung bahan kimia dan memiliki salah satu sifat sbb: racun, korosif, mudah terbakar, reaktif, dan genotoksik. Contohnya adalah: reagen laboratorium, pengembang film, disinfektan, solven. Sampah kimia yang termasuk dalam B3 adalah formaldehid, larutan yang digunakan pada bagian X-ray, solvent, bahan disinfeksi dan pembersih, oli, pestisida, bahan kimia anorganik.
  7. Sampah yang mengandung konsentrasi logam berat yang tinggi, seperti baterai, thermometer yang pecah, alat penguku tekanan darah, residu dari klinik dokter gigi (konsentrasi merkuri/Hg yang tinggi)
  8. Kontainer bertekanan, seperti silinder gas, kaleng aerosol, dsb. 
  9. Sampah radioaktif, umumnya dihasilkan dari fasilitas radioterapi.

Pada tahun 2007, terhitung terdapat 1178 rumah sakit yang beroperasi  di kota besar dan menengah di Indonesia. Dari beberapa penelitian yang dilakukan rata-rata sampah yang dihasilkan oleh rumah sakit/klinik/ fasilitas kesehatan adalah 0.14 kg/tempat tidur/hari atau kurang lebih 4000 ton/tahun (Ditjen PP dan PL dan WHO, 2003). Dengan komposisi sampah medis terdiri atas: 80% sampah umum dan 20% sampah B3 dengan rincian sbb: 15% sampah patologi dan infeksius, 1% sampah tajam, 3% sampah kimia dan farmasi, <1%  ampul dan thermometer yang pecah. Bali Fokus, sebuah LSM lingkungan, melakukan penelitian terkait produksi sampah di 14 rumah sakit di Bali pada tahun 2010.  Hanya 1 dari 14 rumah sakit yang mencantumkan sampah B3 yang dihasilkannya. RS Kasih Ibu, dengan jumlah tempat tidur sebanyak 53 buah, menghasilkan sampah B3 0.01 m3/bulan (6%) dari total sampah (domestik, medis, dan B3) sebesar 1.46 m3/hari .

Kondisi yang terdapat pada RS Kasih Ibu tidak berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh WHO dan US EPA.  Umumnya (75-90%), sampah yang dihasilkan oleh fasilitas medis tidak beresiko sedangkan sisanya (10-25%) merupakan sampah B3.  Berdasarkan klasifikasi WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan US EPA (Badan Lingkungan Hidup Amerika), sampah B3 medis terdiri atas sampah infeksius, patologis, genotoksik, farmasi, kimia, mengandung logam berat dengan konsentrasi tinggi, container bertekanan, dan radioaktif. 

Meski prosentasenya kecil (10-25%)  tetapi bila penanganan sampah B3 salah, maka akan terjadi pencemaran lingkungan  dan masalah kesehatan serius. Sampah medis dan produk sampingannya, bisa menyebabkan: (1 luka bakar akiba radiasi, (2) luka akibat benda tajam, (3) keranan dan pencemaran akibat lepasnya sampah farmasi utamanya antbiotik dan obat sitotoksik, (4) keracunan dan pencemaran oleh senyawa racun seperti merkuri dan dioksin yang terlepas saat dibakar dengan insinerator .

Nah, kalian tahu kan, kebanyakan dari kita, modelnya ngasal kalau masukin sampah dan tidak membaca aturan mainnya. Begitulah yang saya temukan di rumah sakit. Sampah bekas makanan pasien/penunggunya masuk ke dalam sampah infeksius dan kadang sebaliknya. Ini jadi masalah karena pengelolaan sampah - sampah tersebut berbeda satu dengan lainnya. Dengan model kita yang ngasal masukin sampah menyebabkan kemungkinan penyebaran penyakit dan kerusakan lingkungan menjadi semakin besar. Sampah domestik yang tercampur dengan sampah B3 medis secara otomatis akan menyebabkannya menjadi sampah B3 domestik. Oke, kalau ingin tahu lebih lanjut soal penangannya, baca peraturan MenKes di atas ya. Terkait pengelolaan sampah B3 medis, seringkali kita temui rumah sakit yang nakal atau pengelola sampah swastanya yang nakal. 4 hari yang lalu, tempo memuat berita tentang petugas TPA Cikolotok (Purwakarta) melapor pada bupati karena mereka SERINGKALI tertusuk jarum suntik bekas dari rumah sakit. Adalagi berita tahun lalu (2015) di Kepulauan Riau dimana sang tersangka adalah RSUD Karimun yang diduga membuah sampah B3-nya ke TPA. Omong - omong soal TPA, mayoritas TPA kita tipenya adalah open dumping sehingga air lindi masuk merembes ke air tanah dan tersebar  kemana-mana, nah bayangkan sendiri luasan penyebarannya. Sayangnya wacana buangan sampah B3  medis belum sampai melihat dampak buangan yang sembrono ini terhadap pekerja TPA dan keluarganya, maupun pada masyarakat sekitar dan sumur warga. Sehingga kita tidak bisa melihat besaran dampak yang terjadi, dan ujung - ujungnya penyelesaian yang dilakukan sepotong - sepotong dan tidak menyelesaikan masalah. PS: menurut saya pribadi, itu terjadi di hampir semua lini kebijakan pemerintah. Ada juga contoh penyebaran penyakit akibat pembuangan sampah B3 medis yang sembrono, tetapi di luar negeri. 

Tercatat beberapa kejadian dimana peningkatan penyakit diakibatkan pembuangan sampah B3 medis yang tidak sesuai. India pada tahun 2008 mengaku menemukan kasus baru Hepatitis B (400,000) dan HIV (30,000) akibat luka tertusuk jarum bekas. Bahaya pengelolaan yang tidak benar dari sampah B3 medis masih ditambah dengan pemilahan sampah secara manual atau pengumpulan sampah medis di TPA yang sering dilakukan di negara-negara berkembang. Pada Juni 2000, 6 anak didiagnosa terkena cacar setelah bermain dengan ampul kaca yang mengandung vaksin cacar di TPA Vladivostok (Rusia). Masyarakat terpapar sampah radioaktif yang berasal dari perawatan radioterapi yang tidak dikelola dengan baik. Kejadian ini terjadi di beberapa negara seperti Brazil pada tahun 1988 (4 orang meninggal dan 28 orang terkena luka bakar radiasi), Meksiko dan Maroko tahun 1983, dan Algeria pada tahun 1978.

Sampah medis B3 juga menyebabkan bau busuk dan mendorong pertumbuhan serangga, tikus, cacing, dsb. Sebagai tambahan informasi, dibawah ini adalah penyakit yang diasosiasikan dengan sampah medis. 

PENYAKIT AKIBAT MIKROBA  YANG BERHUBUNGAN DENGAN SAMPAH MEDIS
  • Bakteri: Tetanus, gangrene and luka akibat infeksi lainnya, anthrax, kolera, diare, demam enteric, sigelosis, dsb
  • Virus: Berbagai jenis hepatitis, poliomyelitis, infeksi HIV, HBV, TB, STD rabies, dsb
  • Parasit: Amoebiasis, giardiases, ascariasis, Acylomastomiasis, Taeniasis, Echinicoccosis, Malaria, Leishmaniasis, filariasis, dsb
  • Infeksi: oleh jamur Berbagai infeksi jamur seperti candidiasis, cryptococcoses, coccidiodomycosis, dsb
TIPS edisi kali ini: (1) masukkan sampah sesuai dengan peruntukannya bila di rumah sakit. Selain membantu petugas rumah sakit, kamu juga membantu mencegah berujungnya sampah B3 medis di TPA yang membawa korban lebih banyak lagi, (2) kalau menemukan praktek yang tidak seharusnya di rumah sakit/ pengelola sampah B3 medis, beri laporkan pada pihak terkait. Sampai jumpa lagi di cerita yang lainnya. Adios, amigo!!!


DAFTAR PUSTAKA


  • Anonymous. Definition and Characterization of Health-care Waste. 18 pp
  • Bali FOKUS. 2011. Medical Waste Management and Mercury in Health Sector Assessment and Its Alternatives in Bali, Indonesia. Final Report. International SAICM Implementation Project
  • Y. Y. Babanyara, D. B. Ibrahim, T. Garba, A. G. Bogoro, and M. Y. Abubakar. 2013. Poor Medical Waste Management (MWM) Practices and Its Risks to Human Health and the Environment: A Literature Review. International Scholarly and Scientific Research and Innovation, 7(11), 780 – 787 
  • Taghipour, H, dan M. Mosaferi. 2007. Characterization of Medical Waste From Hospitals in Tabriz, Iran. Science of the Total Environment, 407,  1527 – 1535 


Komentar

Postingan Populer