Kesemrawutan Pengelolaan Air Tanah Indonesia

Ada banyak alasan mengapa masyarakat memilih untuk menyedot air tanah. Namun alasan paling mendasar dari penyedotan air tanah adalah pengambilannya yang relatif mudah, murah, tidak harus mengajukan perizinan, dan cukup dengan membuat lubang sumur yang dekat dengan rumah. Mayoritas sungai - sungai yang melalui kota-kota besar dalam kondisi tercemar berat dan ditambah dengan tingginya tarif air PDAM memperbesar ketergantungan warga pada air tanah sebagai sumber air bersih. Besarnya ketergantungan masyarakat perkotaan terhadap air tanah terlihat dengan masuknya Indonesia sebagai 10 negara teratas penyedot air tanah di dunia (14 km3/tahun).

Indonesia memiliki 421 cekungan air tanah (CAT), namun hanya beberapa yang telah dihitung secara detail potensinya. Cekungan air tanah adalah daerah yang dibatasi oleh batasan hidrogeologis dimana terjadi proses hidrogeologis seperti pengisian kembali, pengaliran, dan keluarnya air tanah terjadi. Dengan menggunakan data curah hujan rata-rata tahunan yang dianalisa oleh BMKG pada tahun 1975 dan prosentase pengisian kembali, maka total cekungan air tanah Indonesia pada tahun 2008 adalah 517,123 x 106 m3/tahun.

Tabel 1. Penghitungan ulang cekungan air tanah tahun 2008

No
Wilayah
Cekungan Air Tanah (CAT)
Jumlah
Luasan (Km2)
Kuantitas (m3/tahun)
Bebas
Terbatas
1
Sumatera
65
272,843
123,528
6,551
2
Jawa dan Madura
80
81,147
38,851
2,046
3
Kalimantan
22
181,362
67,963
1,102
4
Sulawesi
91
37,778
19,694
550
5
Bali
8
4,381
1,577
21
6
NTB
9
9,475
1,908
107
7
NTT
38
31,929
8,229
200
8
Maluku
68
25,830
11,943
1,231
9
Papua
40
262,870
222,524
9,098
TOTAL
421
907,615
496,217
20,906

Catatan:
CAT berada dalam sebuah kabupaten/kota         : 206
CAT berada di perbatasan antar kabupaten/kota : 176 
CAT berada di perbatasan antar provinsi            : 35 
CAT berada di perbatasan antar negara               : 4 

Jakarta menjadi salah satu contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana penyedotan air tanah yang tak terkendali berujung pada penurunan tanah. Jakarta adalah salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat bila dibandingkan dengan Beijing atau Bangkok. 64% populasi penduduk Jakarta dan mayoritas industri bergantung pada air tanah. Lebih jauh lagi, perubahan daerah pertanian menjadi perkotaan di wilayah pesisir memiliki dampak yang sama dengan hilangnya hutan di daerah hulu yang menghalangi pengisian kembali air tanah melalui infiltrasi air hujan. Penurunan tanah meningkatkan resiko baniir dimana kecepatan penurunan tertinggi tercatat pada kota/wilayah yang berada di sepanjang pesisir, atau dekat laut dan sungai. Jakarta bukanlah satu-satunya kota yang akan tenggelam jika penyedotan air tanah lebih cepat daripada pengisian ulangnya. Kecepatan penurunan tanah di sepanjang pesisir Jakarta bervariasi antara 9.5 - 21.5 cm/tahun. Bila dihitung rata-rata kecepatan penurunan tanah sebesar 10 cm/tahun dengan dengan ketinggian 2 m dpl, maka pesisir Jakarta akan tenggelam dalam waktu 20 tahun. Sementara Lhokseumawe dan Medan dengan kecepatan penurunan tanah sebesar 8 cm/tahun dengan ketinggian rata-rata 5 m dpl. Daerah pesisir pada kedua kota ini akan tenggelam dalam waktu 60 tahun. Peningkatan permukaan air laut juga turut memperburuk situasi yang ada. Ketinggian air laut regional sekarang ini meningkat dengan kecepatan 1.5 - 4.4 mm/tahun dan diperkirakan akan meningkat -3 kali lipat dalam 10-20 tahun ke depan. 



Selain penyedotan air tanah yang tidak terkendali, pencemaran air tanah seringkali luput dari perhatian. Penelitian pada CAT Bandung tahun 1998 menunjukkan bahwa limbah domestik dan industri mencemari air tanah dangkal. Berbagai senyawa pencemar terdeteksi, namun pencemar utamanya adalah klorida (Cl) dan nitrogen (nitrat, nitrit, ammonia). Kota megapolitan seperti Jakarta, kebocoran baik yang berasal dari pipa air bersih dan pipa tangki septik menjadi faktor yang berpotensi mengganti peranan air hujan untuk mengisi kembali air tanah dan juga penyebab pencemaran unsur hara. Rasio kebocoran (volume kebocoran:volume air yang didistribusikan dalam bentuk persentase) dan flux kebocoran (volume kebocoran tahunan/area) di Jakarta adalah 46% dan 250 mm/tahun. Volume kebocoran memberikan kontribusi yang cukup signifikan di kota megapolitan dimana masuknya air tanah terbatas akibat  paving dan kecepatan evaporasi yang tinggi. Kebocoran pipa terjadi akibat penurunan tanah, gempa, dan penuaan pipa.


Sebagai tambahan, bakteri infeksius juga ditemukan pada banyak air tanah akibat rendahnya pengelolaan limbah domestik. Contoh kasus pencemaran limbah domestik pada air tanah terdapat pada Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Jarak antara sumur dan tangki septik tidak sesuai dengan standar yang mengharuskan memiliki jarak >10 meter. Sumur di Kecamatan Ciracas tercemar oleh bakteri Coliform (0 - 26,000 bakteri/100 mL) dan Eschericia coli (0 - 6,790 bakteri/ 100 mL). Bila 1000 bakteri/100 mL sebanding dengan 1 gram tinja/ m3, maka air sumur Kecamatan Ciracas mengandung 6.7 - 26 gr tinja/m3Pencemaran oleh limbah industri diindikasikan dengan meningkatnya konsentrasi logam berat dan organohalogen. Salah satu sumber pencemar air tanah yang seringkali terlupa adalah Tempat Pembunngan Akhir (TPA). Bercampurnya sampah di TPA, utamanya dengan bahan - bahan B3 yang berasal dari sampah rumah tangga dan sistem pembuangan terbuka (open dumping) membahayakan air tanah. Sistem pembuangan terbuka menyebabkan lindi mencemari tidak hanya sungai, tetapi juga air tanah kita. Penelitian di TPA Supit Urang menjadi bukti pencemaran air tanah akibat sistem pengelolaan sampah yang tidak memadai.  

Keberlanjutan air tanah di Indonesia menjadi taruhan akibat rendahnya kepedulian masyarakat dan pengelolaan. Rendahnya kepedulian publik dan pengelolaan air tanah disebabkan karena:
  • Lemahnya implementasi dari sistem reward dan punishment pada pengawasan air tanah
  • Pengelolaan air tanah berfokus pada pendekatan teknis dan kurangnya pelibatan masyarakat serta berbagi informasi/pengetahuan kepada masyarakat
  • Kurangnya peraturan turunan dengan prosedur teknis dan detail yang dapatdigunakan sebagai panduan untuk diimplementasikan dalam konteks lokal
  • Ketidak seimbangan prioritas proyek pemerintah, dimana isu (lingkungan) air tanah tidak dijadikan sebagai prioritasdalam rencana pengembangan wilayah
  • Tidak terciptanya keterpaduan perencanaan pengelolaan air tanah. Perencanaan pengelolaan air tanah dipisahkan dari BAPPEDA karena hingga saat ini peraturan untuk perencanaan pengelolaan air tanah tidak ada. Beberapa dinas pemerintah memiliki berbagai program tetapi tidak terpadu antar satu dengan lainnya
  • Tumpang tindihnya tugas dan fungsi dalam pengelolaan air tanah. Berdasarkan atas fungsi dan tugasnya, Dinas ESDM provinsi memiliki fungsi utama dalam mengkoordinasi dengan lembaga terkait. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi. Salah satu kelemahan tersebut adalah desentralisasi yang terjadi pada era otoda menyebabkan munculnya bias peran antara dinas provinsi dan daerah. Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan, beberapa peraturan tidak mencantumkan air tanah sebagai bagian dari otonomi dan menghasilkan dampak negatif terhadap implementasi dari peraturan yang ada.
Kelemahan ini kemudian membuat banyak pihak, utamanya industri, hotel, dan rumah sakit dapat dengan mudah menyedot air tanah tanpa pengawasan dan evaluasi pemerintah. Bukti bahwa abainya pemerintah dapat diukur dari tingginya konflik air tanah yang muncul dalam berita yang hanya merupakan puncak gunung es. Salah satu berita yang mendapat perhatian besar dari khalayak ramai adalah kasus yang melilit sebuah hotel yang terkenal di Yogyakarta. Hotel dengan mudahnya menyedot air tanah dan membuat 40 sumur warga mengering. Setelah melewati proses investigasi yang cukup panjang, bahwa hotel tidak memiliki ijin penyedotan air tanah. Kasus yang sama banyak terjadi di berbagai kota terutama kota - kota besar Indonesia. 

Penyedotan air tanah membawa dampak yang jauh lebih buruk yaitu ancaman terhadap ketersediaan air bersih. Chaidir Anwar Makarin, ahli geoteknik Universitas Tarumanegara menyatakan bahwa intrusi air laut telah mencapai Monas di kedalaman 150 meter. Melakukan penghitungan ulang potensi cekungan air tanah (CAT) dan kondisi pencemaran air tanah menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk mengelola potensi air tanah lebih baik lagi. Jangan sampai pemerintah mengatakan tidak memiliki data pencemaran arsenik air tanah seperti yang terjadi pada tahun 2008. Data - data ini tidak hanya harus terus diperbaharui tetapi juga harus tersedia ketika dibutuhkan dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan air tanah sejak pada tahapan perencanaan, menyebarkan informasi mengenai kondisi dan peraturan terkait dengan pengelolaan air tanah menjadi langkah penting yang harus segera diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan air tanah yang belum tercemar dan tersisa.






  1. Putri, L. S. E., N. Kustanti, and E. Yunita. 2013. Effect of Land Use on Ground Water Quality (A Case Study from Ciracas Sub District, East Jakarta, Indonesia). International Journal of Bioscience,Biochemistry, and Bioinformatics, 3(1), 33 - 36. http://www.ijbbb.org/papers/158-CB419.pdf 
  2. Umezawa, Y., T. Hosono, S. Onodera, F. Sringan, and S. Buapeng, R. Delinom, C. Yoshimizu, I. Tayasu, T. Nagata and M. Taniguchi. 2009. Erratum to Sources of Nitrate and Ammonium Contamination in Groundwater Under Developing Asian Megacities. Science of Total Environment, 407, 3219 - 3231. https://www.researchgate.net/profile/Makoto_Taniguchi3/publication/232380853_Erratum_to_Sources_of_nitrate_and_ammonium_contamination_in_groundwater_under_developing_Asian_megacities/links/0046352b5a02e0d50d000000.pdf 
  3. Tirtomiharjo, Haryadi. 2011. Groundwater Resources Potentials in Indonesia and Their Management. Ministry of Energy and Mineral Resources. Center of Groundwater and ENvironemntal Geology. 
  4. Van der Gun, Jack. 2012. Groundwater and Global Changes: Trends, Opportunities, and Challenges. UNESCO. 44 pp
  5. FAO. AQUASTAT: Indonesia. http://www.fao.org/nr/water/aquastat/countries_regions/IDN/index.stm 
  6. Chaussard, E., F. Amelung, H. Abidin, and S. Hong. 2013. Sinking Cities in Indonesia: ALOS PALSAR Detects Rapid Subsidence Due To Groundwater and Gas Extraction. Remote Sensing of Environmental, 128, 150-161  
  7. Wagner, W., and Sukrisno. 1998. Natural Groundwater Quality and Groundwater Contamination in THE Bandung basin, Indonesia. Bulletion of Environmental Geology, 23, 28-33
  8. Putri, L. S. E, N. Kustanti, and E. Yunita. 2013. Effect of Land Use on Groundwater (A Case Study from Ciracas Subdistrit, East Jakarta. International Journal of Bioscience, Biochemistry, and Bioinformatics, 3(1), 33-36
  9. Solichin, M. 2012. Field Investigationof Groundwater Contamination from Solid Waste Landfill in Malang, Indonesia. International Journal of Civil and Environmental Engineering, 12(2), 74-81. 
  10. Ken’ichi, N., and D. A. Yuwana. 2012. Groundwater Sustainability in Bandung, Indonesia. 79-87 pp
  11. Maulia, E. 2008. Arsenic Confirmed in Groundwater Supply. http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/10/arsenic-confirmed-groundwater-supply.html 




Komentar

Postingan Populer