Perkembangan Isu SPH dan Kebijakan Terkait Pengendaliannya di Dunia Internasional

Istilah SPH mulai populer digunakan setelah Konferensi Wingspread yang dikoodinir oleh Dr. Theo Colborn. Konferensi Wingspread menjadi tonggak sejarah dimana ahli dari berbagai latar belakang keilmuan (toksikologi, ekologi, kimia, imunologi, dsb) bersepakat  bahwa:
1. Senyawa Pengganggu Hormon (SPH) memberikan dampak yang berbeda pada embrio dan fetus/janin dari induk/ orang tua
2. Efek paparan bahan kimia paling sering terlihat pada keturunan, bukan pada induk/orang tua yang terpapar oleh bahan kimia dan waktu terpaparnya organisme/individu yang sedang berkembang sangat penting  karena akan menentukan besaran dampak
3. Meski paparan terjadi pada masa kritis perkembangan embrio, munculnya dampak yang terlihat jelas terjadi ketika matang kelamin/ akil balig
4. Dilaporkan bahwa cacat perkembangan yang muncul pada keturunan dewasa dari orang tua yang terpapar  disebabkan oleh bahan kimia yang dilepaskan di lingkungan.
5. Dosis/konsentrasi dan dampak yang terukur pada manusia sama dengan dosis/konsentrasi dan dampak yang terlihat pada satwa liar.

Walaupun dalam pertemuan ini telah terkumpul bukti bahwa SPH berdampak terhadap kesehatan manusia dan satwa liar, namun diperlukan 4 tahun lamanya untuk EPA (Badan Perlindungan Lingkungan) untuk bertindak secara serius terhadap SPH. Berikut ini tahapan perkembangan kebijakan terkait Senyawa Pengganggu Hormon (SPH):
1.     1938.  Dietilbestrol (DES), estrogen sintetik pertama dibuat. DES diresepkan kepada jutaan wanita hamil guna mencegah keguguran dan memastikan kesehatan bayi. DES bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkan dan malah meracuni ibu yang mengkonsumsinya. Anak perempuan yang lahir menderita disfungsi organ reproduksi, kehamilan abnormal, penurunan kesuburan, gangguan sistem imun, dan depresi[1].
DES sebagai estrogen sintetik pertama dan obat anti keguguran

2.     1940: Penelitian satwa liar menunjukkan pola reproduksi abnormal. Awal tahun 1940an, ahli ekologi melihat dampak kesehatan (utamanya reproduksi) yang serius pada satwa liar yang menyebabkan dampak serius terhadap populasi beberapa spesies[2].
3.     1962: Publikasi buku ‘Silent Spring’. Rachel Carson, penulis ‘Silent Spring’ membuka paradigma baru dimana pestisida tidak hanya tersebar pada lingkungan (air, udara, tanah), tetapi juga terakumulasi dalam rantai makanan. Bahan kimia yang terakumulasi pada jaringan lemak akan ‘diwariskan’ dari ibu kepada anak keturunannya[3].
4.     1966: Cikal bakal Institut Nasional untuk Sains Kesehatan Lingkungan (NIEHS) didirikan. Sebelum menjadi institusi tersendiri (1969), NIEHS merupakan divisi yang didirikan dalam NIH dengan tujuan untuk mengurangi beban penyakit dan disabilitas manusia dengan memahami bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan manusia.
5.     1971: DES ditetapkan sebagai senyawa karsinogen yang mampu melewati plasenta (transplasenta). DES menjadi contoh kasus dimana bahan kimia tidak harus meracuni ibu untuk menghasilkan menghasilkan dampak yang serius dimana dampak dapat muncul setelah beberapa generasi.
6.     1972: Larangan terhadap DDT berjalan. Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA) penggunaan DDT ilegal di Amerika
7.     1979: Konferensi pertama tentang estrogen yang terdapat di lingkungan. NIEHS mensponsori simposium untuk menentukan apakah estrogen, dan bagaimana ini bekerja dan bagaimana efek bahan kimia estrogenik terhadap kesehatan manusia.
8.     1989: Konferensi Basel terhadap ‘Transboundary Movements of Hazardous Waste and Their Disposal’. Tujuan dari konvensi adalah untuk mengurangi produksi bahan beracun berbahaya (B3), membatasi pergerakan lintas batas dengan kecuali sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah/sampah dan mengembangkan sistem regulasi untuk diaplikasikan kepada
9.     1990: Hipotesis Barker. David Barker mengajukan konsep yang awalnya disebut sebagai Hipotesis Barker bahwa kondisi janin, seperti kekurangan gizi, dapat secara permanen mengubah metabolisme dan fungsi lainnya secara dramatis sehingga mempengaruhi kehidupan pada masa mendatang[4]. Beberapa tahun terakhir,  Hipotesis Barker berkembang hingga melibatkan paparan kimia seperti SPH dan saat ini disebut sebagai The Developmental Origins of Adult Health and Disease (DOHaD).
10.  1991: Istilah SPH pertama kali digunakan pada Konferensi Wingspread. Theo Colborn mengkoordinir pertemuan  21 ilmuwan international dari 15 disiplin ilmu untuk berbagi hasil riset terkait dengan dampak kesehatan lintas generasi.
11.  1992: Peningkatan dramatis terkait kanker testis akibat paparan bahan kimia. Sebuah riset tim (Denmark) menemukan terjadinya penerunan rata-rata kepadatan dan volume seminal sperma dari tahun 1938-1991[5]. Lebih lanjut, penelitian-penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa insidensi kanker testis, kriptochidisme, dan hipospadia yang meningkat disebabkan salah satunya karena SPH dan berkontribusi terhadap penurunan kesuburan[6].
12.   1992: PCB diketahui mempengaruhi fungsi kognitif pada anak-anak. Bayi dan anak-anak yang terpapar PCB via akibat ibu yang mengkonsumsi ikan yang terpapar PCB menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Meskipun, konsentrasi PCB lebih tinggi pada ASI, namun paparan yang terjadi saat janin berkembang memiliki dampak yang jauh lebih tinggi dan berbahaya[7].
13.  1995: Institusi pemerintah meningkatkan penelitian terkait SPH. EPA melaksanakan 2 lokakarya, sebagai tindak lanjut ditetapkannya SPH sebagai subyek penelitian dengan prioritas utama dan menghasilkan rencana penelitian SPH[8]. Pada tahun yang sama, NIEHS dan Biro Penelitian Kesehatan Wanita (ORWH) mendorong peneliti untuk mengajukan penelitian terkait dampak SPH dan kesehatan wanita[9].
14.  1996: Populasi aligator yang tidak seimbang dikarenakan SPH. Sebuah penelitian pada Aligator di Danau Apopka, menunjukkan bahwa anakan aligator yang terpapar pestisida memiliki penis yang mengecil (24% dari ukuran penis rata-rata)[10]
15.  1996: Peluncuran program penyaringan SPH (EDSTAC).  Keputusan air minum yang aman atau SDWA diundangkan pada tahun 1974 untuk membangun standar dan regulasi terkait penyediaan air minum yang aman bagi warga negara. Pada 1996, SDWA dirubah secara signifikan sehingga EPA diwajibkan untuk melakukan penyaringan terhadap senyawa pestisida yang berpotensi menyerupai estrogen pada manusia. Perubahan ini juga memberikan kewenangan kepada EPA untuk memeriksa senyawa kimia lainnya untuk efek non estrogen. Untuk menyediakan rekomendasi dan memungkinkan EPA untuk menjalankan fungsinya, EPA mendirikan Endocrine Disruptor Screening and Testing Advisory Committee (EDSTAC)[11].
16.  1996: Diterbitkan ‘Our Stolen Future’. Perwakilan international dari berbagai lembaga regulator, otoritas nasional, dan lembaga international berkumpul untuk lokakarya terkait dampak SPH terhadap kesehatan manusia dan satwa liar di Weybridge, Inggris.
17.  1998: Konferensi Riset Gordon yang pertama dilaksanakan. mengenai SPH adalah rangkaian pertemuan unik yang menyediakan peneliti kesempatan untuk berbagai hasil penelitian yang belum dipublikasi dengan kelompok peneliti dan ahli internasional. Pertemuan selanjutnya diadakan setiap 2 tahun.
18.  1998: Konvensi Roterdam terkait prosedur penyetujuan yang diinformasikan dini untuk bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional. Bahan kimia yang terdaftar dalam Konvensi Rotterdam termasuk SPH yang sudah banyak dikenal, seperti PCB.
19.  1999: Komisi Eropa mengadopsi strategi komunitas untuk SPH. Komisi Eropa menerbitkan sebuah dokumen ‘Community Strategy for Endocrine Disruptors’. Dokumen mengidentifikasi permasalahan dan konsekuensi dari SPH, dan mengusulkan kebijakan. Strategi terdiri atas kasi jangka panjang, menengah dan pendek. Laporan implementasi terkait Strategi Komunitas telah diterbitkan secara periodik selama 2011.
20.  2001: Konferensi Plenipotentiaries mengadopsi Konvensi Stockholm terkait Persistent Organic Pollutant (POPs). Menyadari bahwa POP dapat menyebabkan efek kesehatan yang serius,  Konvensi Stockholm adalah perjanjian global dimana pihak-pihak yang meratifikasi berkewajiban untuk mengeliminasi, membatasi, dan/ melakukan pengukuran untuk mengurangi pelepasan bahan kimia tertentu untuk melindungi kesehatan lingkungan dan manusia.
21.  2002: WHO menerbitkan penilaian global terhadap kondisi keilmuan SPH. Melalui Program Internasional terhadap Keamanan Bahan Kimia (IPCS) , WHO mengevaluasi secara menyeluruh kondisi keilmuan SPH terkait pengaruh SPH terhadap kesehatan hewan dan manusia. WHO juga mencari usulan kerangka untuk menilai SPH[12]
22.  2006: SAICM diadopsi oleh Konferensi Internasional Pengelolaan Bahan Kimia. Pendekatan Strategis Terhadap Pengelolaan Bahan Kimia Internasional (SAICM) menggabungkan perspektif dari multi-pihak (lembaga regulator, pemerintah, industri, dan kelompok lingkungan). SAICM mengakui bahwa SPH muncul sebagai isu kebijakan  dan mengadopsi spesifik resolusi terkait SPH[13].
23.  2006: Penggunaan istilah obesogen. Peneliti dari Universitas Kalifornia, Irvine, menggaris bawahi peranan bahan kimia yang terdapat di lingkungan sebagai salah satu penyebab meningkatnya epidemik obesitas dan menyebutnya sebagai obesogen. Banyak bahan kimia, disebut sebagai obesogen juga merupakan SPH yang beraksi melalui pathway endokrin/hormon[14]
24.  2009: Endocrine Society menerbitkan pernyataan posisi dan sains tentang SPH. Endocrine Society membentuk satuan tugas yang bertugas untuk meringkas pengetahuan terkini tentang SPH, dan dengan rekomendasi aksi untuk mempromosikan penelitian SPH. Hasil dari satuan tugas ini adalah dokumen ilmiah yang lengkap dan fokus pada efek paparan dosis rendah SPH terhadap sistem hormon, dan terperinci sehingga membangun dasar yang kuat terhadap risiko kesehatan akibat paparan SPH[15].
25.  2012: Endocrine Society mempublikasikan dokumen ‘SPH dan Proteksi Kesehatan Masyarakat’. Pentingnya dokumen ini dititik beratkan pada tidak adanya dosis aman untuk SPH karena pentingnya jendela perkembangan kritis
26.  2012: WHO memperbaharui dokumen penilaian global terhadap kondisi keilmuan SPH[16].
27.  2015: Endocrine Society menerbitkan pernyataan posisi SPH di Uni Eropa (UE) dan pernyataan ilmiah kedua tentang SPH[17]. Meningkatnya minat masyarakat terhadap ancaman SPH mendorong perkembangan pada kebijakan, regulasi, hukum yang didesain untuk memitigasi risiko kesehatan terhadap SPH. Pernyataan posisi dibuat untuk mendorong pembuat kebijakan di UE untuk mempertimbangkan pengembangan kriteria SPH dan membangun kerangka regulasi berdasarkan fakta ilmiah.
28.  2016: Komisi UE mengusulkan kriteria untuk mengidentifikasi SPH[18]. Komisi UE mengajukan kriteria berdasarkan tingkat bahaya untuk SPH, namun dengan standard yang sangat tinggi untuk mengidentifikasi sebuah bahan kimia sebagai SPH.


Isu pencemaran SPH adalah isu yang sudah lama bergejolak di dunia international. Namun sayangnya, tidak adanya perhatian dari pemerintah dan kurangnya ketertarikan ilmuwan kita untuk mengkaji permasalahan pencemaran SPH di dalam negeri, menyebabkan minimnya data, dan informasi yang disebarkan kepada masyarakat. Memandang dari semakin meningkatnya kejadian atau insidensi kanker yang terjadi dari tahun ke tahun dan penurunan kualitas lingkungan yang terjadi, besar kemungkinan adanya keterkaitan yang erat antara keduanya. Sayangnya, sekali lagi, pemerintah / rumah sakit/ ilmuan kita belum melihat sampai sejauh ini.


[1] Colborn T, vom Saal F. S, Soto, A. M. Developmental effects of endocrine disrupting chemicals in wildlife and humans. Enviro Health Perspective. 1993; 101(5): 378-384
[2] Fry, M. D. Reproductive effects in birds expose to pesticides and industrial chemicals. Environ Health Perspect. 1995; 103(Suppl 7): 165 - 171
[3] American Chemical Society. National Historic Landmark. Rachel Carson’s silent spring. https://www.acs.org/content/acs/en/education/whatischemistry/landmarks/rachel-carson-silent-spring.html (Diakses pada Januari 20, 2017)
[4] Barker D.J, Winter P. D, Osmond C, Margetts B, Simmonds J. 1989. Weight in infancy and death from ischaemic heart disease. Lancet. 1989; 8663: 577-580. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2570282
[5] Carlsen E, Giwercman A, Keiding N, Skakkebæk N. E. Evidence for decreasing quality of semen during past 50 years. BMJ. 1992; 305: 609 – 612. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1883354/pdf/bmj00091-0019.pdf
[6] Skakkebæk N. E. Endocrine disrupters and testicular dysgenesis syndrome. Horm Res. 2002; 57(suppl 2): 43
[7] Jacobson, J. L, Jacobson, S. W, Padgett R. J. Effects of prenatal PCB exposure on cognitive processing efficiency and sustained attention. Developmental Psychology. 1992; 28(2): 297-306. https://www.researchgate.net/publication/232520567_Effects_of_Prenatal_PCB_Exposure_on_Cognitive_Processing_Efficiency_and_Sustained_Attention
[8] EPA. Research plan for endocrine disruptors. 1998. 55 pg.
[9] NIH. Endocrine disrupting chemicals and women’s health outcomes. NIH guide. 1995; 24 (38). https://grants.nih.gov/grants/guide/rfa-files/RFA-ES-96-003.html (Diakses pada Januari 20, 2017)
[10] Guillette L. J Jr, Pickford D. B, Crain D. A, Rooney A. A, Percival H. F. Reduction in penis size and plasma testosterone concentration in juvenile alligators living in contaminated environment. Gen Comp Endocrinol. 1996; 101(1): 34-42. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8713642
[11] EPA. Endocrine Disruptor Screening Program (EDSP) . https://www.epa.gov/endocrine-disruption/endocrine-disruptor-screening-program-edsp-overview. (Diakses pada Januari 20, 2017)
[12] WHO. Global assessment of the state-of-the-science of endocrine disruptors. 2002. http://www.who.int/ipcs/publications/new_issues/endocrine_disruptors/en/ (Diakses pada Januari 20, 2017)
[13] SAICM.
[14] Grün F, Blumberg B. Environmental obesogens: organotins and endocrine disruption via nuclear receptor signaling. Endocrinology. 2006; 147(6): s50-s55. https://academic.oup.com/endo/article-lookup/doi/10.1210/en.2005-1129. (Diakses pada Januari 20, 2017)
[16] WHO. State of the science of endocrine disrupting chemicals-2012. http://www.who.int/ceh/publications/endocrine/en/. (Diakses Januari 21, 2017)
[17] Gore A. C, Chappell V. A, Fenton S. E, Flaws J. A, Nadal A, Prins G. S, Toppari J, Zoeller R. T. Executive summary to EDC-2: the Endocrine Society’s second scientific statement on endocrine disrupting chemicals. 2015. http://press.endocrine.org/doi/pdf/10.1210/er.2015-1093. (Diakses pada Januari 21, 2017)
[18] European Commission. Press release: Commission presents scientific criteria to identify endocrine disruptors in the pesticides and biocides areas. http://europa.eu/rapid/press-release_IP-16-2152_en.htm. (Diakses pada Januari 21, 2017)

Komentar


  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer