Catatanku Tentang Perjalanan Nelayan Brantas

Sekar Mulyo, Nelayan Brantas
Beberapa tahun terakhir (sejak tahun 2009), saya bersama teman-teman banyak bermain dengan nelayan Brantas, sungai yang mengalir di 17 kabupaten dan atau kota di Jawa Timur. Nelayan Brantas berkelompok dan menamakan diri mereka kelompok Sekar Mulyo. Mereka mengarungi Kali Brantas di tahun 1972 dengan 10 buah perahu yang berisi 2 orang (1 orang pengemudi dan 1 orang penjaring). Perahu yang mereka gunakan adalah perahu kayu dengan panjang 6 meter dengan lebar 80 cm. Mereka memilih kayu jati atau mahoni untuk membuat perahu yang mereka gunakan sepanjang perjalanan ini.  Jaring yang mereka gunakan, dijahitnya sendiri. Mereka buat jaring dengan 2 ukuran, mata jaring 2 cm untuk bagian atas dan 3 cm bagian bawah. Material yang mereka gunakan juga berbeda, senar untuk jaring atas dan benang nilon untuk jaring bawah. Ujung bawah jaring dilengkapi rantai-rantai gelang dari besi dan dikaitkan pada tiap ujung jaring. Rantai ini berfungsi sebagai pemberat bagi jaring sehingga jaring tenggelam dengan cepat. Jari-jari lingkarang jaring yang mereka gunakan adalah 6 m dengan berat keseluruhan jaring 20 kg. Bila 42 tahun yang lalu mencari ikan berkelompok 10 perahu, sekarang ini mereka hanya tinggal 4-5 perahu. Sekar Mulyo tidak sepanjang tahun mencari ikan, karena di musim penghujan mereka akan berocok tanam sayur dan buah. Dua tahun terakhir ini, mereka tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya dari bertani. Pertanian buah mereka (semangka dan melon) mengalami gagal panen. Semangka dan melon yang telah memasuki masa panen, sebagian besar tidak matang. Hal ini menyebabkan mereka mengalami kerugian besar. Sehingga mereka lebih menggantungkan diri pada hasil tangkapan ikan.

Membenahi jaring yang robek
Berbagai persiapan mereka lakukan sebelum hari keberangkatan. Selayaknya orang yang berniat kemping, peralatan macam timba, panci, gelas, piring, galon air, cobek dan beragam bumbu mereka siapkan dan simpan di perahu kayu. Tidak lupa mereka menyimpan senar dan benang sebagai persediaan bila jaring robek dan kulit kayu pohon salam. Kulit kayu pohon salam digunakan sebagai pewarna coklat jaring bagian bawah (kamuflase). Sebelum pergi mengarungi Brantas, mereka membuat tumpeng lengkap dan berdoa di punden desa. Berharap agar selama perjalanan banyak ikan yang mereka tangkap, dan selamat hingga kembali ke rumah. Berapa lama mereka mengarungi Brantas? Kalau dihitung-hitung sekitar 2 minggu mereka  menangkap ikan di Brantas. Seperti pekerja kantoran yang memiliki jam kerja rutin, begitu pula dengan mereka. Aktivitas menangkap ikan dimulai jam 5 - 9/10 pagi, bergantung panjangnya rute atau banyaknya hasil tangkapan. Selama beristirahat, mereka akan membersihkan jaring dari kotoran/limbah, mencuci dan mengeringkannya. Yang lainnya akan menjual mengikat ikan dalam beberapa rentengan untuk kemudian mereka jual berkeliling kampung hingga habis dagangannya.

Menikmati hasil masakan sendiri, maknyos
Namun tidak semua ikan mereka jual, sebagian kecil ikan (biasanya keting karena enak), mereka masak untuk makan siang dan malam. Setelah itu mereka akan beristirahat hingga jam 1 siang dan acara tangkap menangkap ikan berjalan kembali hingga jam 4 sore. Sehabis lelah menangkap ikan, mandi di sungai menjadi ajang pelepas lelah para nelayan tua ini. Beralaskan banner bekas, diselimuti sarung tua, mendengarkan lantunan lagu dangdut dari telefon seluler salah satu anggota, dan ditemani asap rokok yang terus mengepul menjadi teman untuk menghabiskan malam.  Selama mengikuti kehidupan mereka 2 minggu, saya merasakan betapa pantang menyerahnya mereka dan bangunan-bangunan megah PU Pengairan (Bendungan, DAM) menjadi tantangan yang semakin lama semakin besar dengan bertambahnya usia. Bendungan membuat mereka harus mengangkat perahu naik dan turun, padahal berat perahu lebih dari 70 kilo. Selain merasakan dinginnya malam plus masuk anginnya, susahnya cari kamar mandi, kepanasan (kami menaiki perahu karet mengikuti mereka), sisanya sangat menyenangkan. Melihat bintang yang bertebaran di langit malam, mendengarkan cerita masa lalu kejayaan Brantas.

Jendil (P.micronemus)
'Dulu nduk' dengan gayanya bercerita seperti pada cucunya, Mbah Mo bercerita betapa kayanya Brantas dengan ikan yang namanya bahkan tidak pernah kami dengar dan temukan dari jurnal penelitian. Sebut saja nama ikan pacal, ramas, areng-arengan, gilikan, dan kacangan tidak pernah terdokumentasikan dan sekarang tinggal cerita. Dahulu mereka pernah mendapatkan ikan pacal dengan berat 30 kilo (ini satu ekor ikan) di Brantas, sehingga untuk menjualnya mereka harus memotongnya sedikit demi sedikit. Saya cuma bisa mlongo mendengar cerita Mbah Mo dan pikiran langsung terbayang pada serial dokumenter Monster Fish, betapa kerennya Brantas saat itu. Ikannya habis karena limbah, penyedotan pasir dengan ponton, dan bendungan/ DAM. Bendungan/ DAM yang tidak dilengkapi dengan jalan ikan 'fishway' menyebabkan ikan tidak bisa bermigrasi baik untuk mencari makan, menghindari kondisi lingkungan yang memburuk atau memijah. Hal menarik lainnya yang saya perhatikan dari mereka adalah mereka jarang sekali makan ikan hasil tangkapan di bagian hilir. Kenapa? karena rasanya tidak enak, ikan di daerah hilir lebih berlemak dan rasa dagingnya tidak segurih yang di hulu atau tengah. Baiklah ini faktanya, ketika kami membedah lambung dan usus ikan di daerah hulu sampai tengah, kami menemukan lumut dan serangga air sebagai makanan utama. Tetapi ketika di daerah hilir, coba tebak apa yang kami temukan. Plastik, kapas, dan yang lebih mengerikan adalah kotoran manusia. Jadi begini ceritanya, ketika kami membalik ikan yang bernama jendil 'Pangasius micronemus' yang keluar adalah kotoran manusia, dan dia menelannya secara utuh. Itu adalah pengalaman buruk saya berhubungan dengan ikan Brantas. Ada teknik dalam mengolah ikan jendil, JANGAN POTONG BATANG EKORNYA. Ini serius, karena bila kamu memotong batang ekornya, bau dagingnya adalah bau kotoran manusia dan siap-siap saja membuang hasil masakan ke tempat sampah.

Rendaman batang kayu salam, pewarna alami
Bicara soal tangkapan, Hasil tangkapan nelayan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Apalagi ketika terjadi kematian ikan secara massal, hasil tangkapan mereka terjun bebas. Hasil penjualan ikan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan minum selama perjalanan 2 minggu itu, tidak bisa ditabung. Jika memang tidak bisa menjadi tumpuan hidup, kenapa diteruskan, itu adalah pertanyaan saya ketika mendengar mereka bercerita. Ini soal tradisi, jawaban itulah yang keluar dari mulut mereka. Tapi sampai kapan tradisi ini bisa berlangsung, mungkin tidak lama. Bila jumlah ikan terus menurun dan tanpa ada upaya perbaikan habitat. Masalah lain yang juga mereka temui adalah seringnya jaring robek, bukan karena ikan yang mereka tangkap banyak hingga merobek jaring. Tetapi karena carang-carang/bambu yang ditancapkan para penambang pasir sebagai tanda. Hal menyedihkan lainnya adalah seringkali mereka mengira menangkap ikan, tetapi yang tertangkap adalah popok bayi dan pembalut. Seringkali hal ini menjadi guyonan mereka yang memiriskan hati. Yang menarik dari mereka adalah mereka telah menerapkan penangkapan ikan secara lestari dengan mengatur ukuran mata jaring sehingga hanya ikan yang layak konsumsi yang terjaring. Selain itu, jika dalam jaring mereka tertangkap ikan papar/belida (notopterus notopterus), mereka akan melepaskannya. Karena papar/belida termasuk dalam daftar ikan yang dilindungi oleh negara  (lampiran PP no 7 tahun 1999). Jadi ketika mancing dan belida tertangkap lepaskan, karena statusnya dilindungi sama seperti elang jawa, harimau jawa, dan teman-temannya.

Setiap dari kita bisa ikut membantu memulihkan sungai dengan langkah kecil, contohnya Mbah Mo yang menggunakan mata jaring yang lebih besar. Kalau sungainya sehat maka kita juga akan sehat, karena sungai menjadi sumber bahan baku air minum kita, media hidup ikan yang kita makan. Karena tulisan ini saya buat untuk memperingati hari air, maka harapanku tentang air Brantas. Semoga air sungaiku terus mengalir, kembali jernih sehingga ikan-ikan datang kembali lagi dan aku bisa makan ikan yang sehat. Selamat hari air, semoga setiap kita bisa lebih bijak dalam memperlakukan air karena air adalah sumber kehidupan.

Komentar

  1. Salam hormat dan salut untuk nelayan ikan Brantas Sekar Mulyo. Dan Mbah Mo tentunya untuk kearifannya salah-satunya bijak menggunakan alat kerja dan memperlakukan Brantas dengan hati-hati.

    Menarik Ikan Jendil. Apakah ukuran yg dilihat di photo itu, ukuran standar yg biasa ditemukan di Brantas? Gede banget? Apa penjelasan ilmiahnya motong ekor Ikan Jendil dengan bau busuk yg timbul karenanya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer